Gadis itu berjalan dengan tangannya yang memegang erat
payung sebelah tangan dan sebelah tangannya memegang kantong kresek. Senyumnya
merekah walau rintik hujan mehujam tanpa ampun payungnya, walaupun sepatunya
kini sudah basah karena genangan air yang ia lewati di pinggir jalan. Di
persimpangan dia berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil. Di depannya tampak
jelas rumah yang sederhana namun tampak nyaman.
Masih terlalu pagi, tapi tukang sayur tidak pernah absen
untuk menjajakan dagangannya. Sekilas gadis itu memberikan senyumnya pada si
tukang sayur yang membalas dengan senyumnya yang hangat. Dia bisa merasakan
dinginnya gembok gerbang rumah tersebut, lalu membukanya, berusaha
meminimalisir suara gesekan besi yang mulai berkarat. Dengan cepat dia masuk dan
menutup gerbang. Dia mulai menikmati langkahnya saat melewati taman kecil namun
terawat.
Saina menggapai kenop pintu dan perlahan memutarnya. Dia
bisa melihat isi rumah yang berantakan lalu tersenyum. Dia akan senang hati
membereskannya. Saat pintu di tutup, dia menuju meja makan dan menyimpan
kantong kresek yang dia bawa sedari tadi, lalu mengeluarkan bubur yang masih
hangat. Senyumnya makin lebar saat mengambil sebuah mangkuk dan menumpahkan
bubur dalam plastik ke dalam mangkuk.
Setelah puas melihat buburnya, dia mengambil cangkir dan
menyeduh teh. Teh yang tidak begitu manis dan tentunya hangat. Dengan hati-hati
dia membawa nampan dengan bubur dan teh hangat yang sudah siapkan tadi. Melewati
ruang tamu dengan majalah di mana-mana. Dia berhenti di sebuah kamar lalu
membukanya dengan perlahan. Mengamati seseorang yang sedang tertidur pulas di
balik selimutnya. Saina berusaha berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun
lalu menyimpan nampan di sebelah tempat tidur.
Saat keluar kamar dia langsung mengambil sapu dan mulai
membereskan rumah yang begitu berantakan. Bukan beban untuk Saina jika itu ada
kaitannya dengan Henry. Apapun akan dia kerjakan dengan senang hati.
“Ngapain kamu di sini?”
Saina melihat Henry yang baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya
yang acak-acakan selalu mempesona.
“Sudah makan buburnya?”
“Tidak. Aku tidak suka makanan yang dingin di pagi hari.”
“Oh, mau kupanaskan?”
“Tidak perlu! Untuk apa kamu datang ke sini?!”
“Aku hanya ingin membawakan sarapan untukmu dan kulihat di
sini harus di bersihkan.”
“Keluarlah! Untuk apa kamu perhatian sama aku?”
“Aku hanya ingin melakukannya.”
“Kayak Sherla dong! Dia mau nglakuin apa yang aku suruh!”
“Oh, begitu ya. Ya sudah aku pergi dulu, kalo mau sarapan
bisa panaskan buburnya sendiri kan? Aku pergi
dulu kalau begitu. Have a nice day.”
Saina mengambil tas tangannya dan bergegas keluar dari rumah
tersebut. Mukanya yang muram tidak menjamin hari ini dia akan melewati hari
yang menyenangkan.
*
Saina yakin dia tidak salah orang. Jelas-jelas itu Henry
yang sedang duduk di café sendirian. Dengan langkah terburu-buru Saina masuk
kedalam café lalu berjalan ke meja Henry dan duduk di sebelahnya. Henry hanya
bisa menunjukkan wajahnya yang heran.
“Kamu kenapa sih belakangan ini?”
“Memangnya kenapa? Kamu kan cuman pacar aku bukan istriku.” Ucap
Henry ketus lalu memalingkan
wajahnya ke koran hari ini. Siana hanya
menundukkan kepalanya.
“Apakah kamu pernah menganggapku bagian penting dalam
dirimu?” kepalanya menengadah seketika menatap wajah Henry lekat.
“Kamu ngomong apa sih? Aku kan selalu menghargai kamu
sebagai seorang pacar.” Ucapnya kini tak kalah ketus.
“Padahal aku tau semuanya tentang dirimu, bahkan hal detail
apapun tentangmu tak pernah ku anggap hal yang kecil, selalu kuanggap hal yang
penting.” Jelas Saina dengan berlinang air mata.
“Dasar perempuan! Selalu menangis sebagai alat pamungkasnya!
Jangan menangis di depanku, Sherla tidak cengeng seperti kamu tau? Jelas dia
lebih tegar daripada kamu.” Ucap Henry tanpa rasa kasihan di depan Saina.
“Memang benar… aku tidak sebaik dia. Memang benar aku tidak
secantik dia. Memang benar aku tidak sekuat dia. Jelas aku tidak ada apa-apanya
dibanding dengan dirinya! Tapi bukankah dia hanya masa lalumu?”
“Sherla memang masa laluku tapi memang dia lebih baik
daripada dirimu!” bentak Henry.
“Lihat? Kau bahkan masih senang di masa lalumu. Kamu tidak
pernah mau melihat masa depanmu. Kamu
tidak pernah memandang aku!” Henry bisa
melihat emosi yang terpancar dari muka Saina. Saina bisa merasakan hatinya
sakit, seperti berdenyut-denyut.
“Apakah itu penting?!”
“Aku bahkan kecewa pada diriku sendiri, aku tidak berhasil
melepaskan kamu dari masa lalumu. Kau tau apa artinya? Aku tidak berhasil membuatmu
melupakan masa lalumu.” Kini terlihat jelas Saina tak bisa membendung air
matanya.
“Bagiku masa lalu itu bukan untuk di lupakan!”
“Kamu masih ingin berhenti di masa lalumu? Baiklah, lebih baik
kita sudahi saja semua ini, kalau kau benar-
benar mencintai masa lalumu dan
terus merindukannya. Kurasa tak ada gunanya juga kita teruskan semua ini.” Karena
tidak tega melihat Saina menangis, Henry menjadi tidak tega.
“Sayang… bukan begitu maksudku. Maafkan aku…” ucap Henry
selembut mungkin.
“Percuma ada kata maaf kalau kamu tetap seperti ini, terus-menerus
mengulanginya. Pergilah, lagipula aku juga tidak membutuhkanmu di masa depanku
nanti.” Ucap Saina dengan ketusnya lalu berdiri dari tempat duduknya lalu
melangkah pergi meninggalkan Henry.
Henry bahkan tidak menyangka, Saina yang dia kenal dengan
wanita yang lembut, ramah, dan peduli bisa semarah itu. Tidak menyangka wanita
tersebut dapat menyakitinya seperti ini. Mungkinkah kini karma sedang berlaku.
Henry hanya bisa mengiyakan.
*
Hujan di bulan Oktober. Walaupun Henry sudah membungkus
dirinya dengan dua lapis selimut tetap saja hawa dingin sepertinya dengan gagah
memeluknya dengan kuat. Dia melihat ke jam dinding. Jam 6:30 a.m. tumben sekali
dia sudah bangun jam segini. Dia mencoba meraih handphonenya dan melihat tidak
ada pesan satu pun—dari Saina. Tak ada lagi yang menyiapkan bubur ayam di pagi
hari. Tidak ada lagi yang menyiram taman kecilnya. Tak ada lagi yang
memperhatikan sosoknya. Henry menyadari bahwa dia cowo brengsek.
Merasakan rindu
saat merasakan kehilangan.
Henry hanya bisa menghela napas berat sambil menenggelamkan
dirinya dalam selimut berusaha mencari kehangatan yang ada dalamnya, tapi tetap
saja dia tidak menemukannya. Entah sudah berapa lama rintik hujan jatuh, sampai
dinginnya menusuk sampai tulang. Hanya sosok Saina yang dia harapkan akan
menyiapkan teh hangat di sebelah tempat tidurnya.
Sekali lagi Henry menghela napas berat. Dia berusaha
memejamkan mata dan berusaha tertidur pulas. Tapi bukannya napasnya yang
teratur karena relaks, malah napasnya yang berburu dan tubuhnya yang
terguncang, dan air matanya yang mengalir.