Jumat, 01 Juni 2012

Aku Memang Tidak Sebaik Masa Lalumu


Gadis itu berjalan dengan tangannya yang memegang erat payung sebelah tangan dan sebelah tangannya memegang kantong kresek. Senyumnya merekah walau rintik hujan mehujam tanpa ampun payungnya, walaupun sepatunya kini sudah basah karena genangan air yang ia lewati di pinggir jalan. Di persimpangan dia berbelok ke sebuah jalan yang lebih kecil. Di depannya tampak jelas rumah yang sederhana namun tampak nyaman.

Masih terlalu pagi, tapi tukang sayur tidak pernah absen untuk menjajakan dagangannya. Sekilas gadis itu memberikan senyumnya pada si tukang sayur yang membalas dengan senyumnya yang hangat. Dia bisa merasakan dinginnya gembok gerbang rumah tersebut, lalu membukanya, berusaha meminimalisir suara gesekan besi yang mulai berkarat. Dengan cepat dia masuk dan menutup gerbang. Dia mulai menikmati langkahnya saat melewati taman kecil namun terawat.

Saina menggapai kenop pintu dan perlahan memutarnya. Dia bisa melihat isi rumah yang berantakan lalu tersenyum. Dia akan senang hati membereskannya. Saat pintu di tutup, dia menuju meja makan dan menyimpan kantong kresek yang dia bawa sedari tadi, lalu mengeluarkan bubur yang masih hangat. Senyumnya makin lebar saat mengambil sebuah mangkuk dan menumpahkan bubur dalam plastik ke dalam mangkuk.

Setelah puas melihat buburnya, dia mengambil cangkir dan menyeduh teh. Teh yang tidak begitu manis dan tentunya hangat. Dengan hati-hati dia membawa nampan dengan bubur dan teh hangat yang sudah siapkan tadi. Melewati ruang tamu dengan majalah di mana-mana. Dia berhenti di sebuah kamar lalu membukanya dengan perlahan. Mengamati seseorang yang sedang tertidur pulas di balik selimutnya. Saina berusaha berjalan tanpa menimbulkan suara sedikitpun lalu menyimpan nampan di sebelah tempat tidur.

Saat keluar kamar dia langsung mengambil sapu dan mulai membereskan rumah yang begitu berantakan. Bukan beban untuk Saina jika itu ada kaitannya dengan Henry. Apapun akan dia kerjakan dengan senang hati.

“Ngapain kamu di sini?”

Saina melihat Henry yang baru saja keluar dari kamarnya. Rambutnya yang acak-acakan selalu mempesona.

“Sudah makan buburnya?”

“Tidak. Aku tidak suka makanan yang dingin di pagi hari.”

“Oh, mau kupanaskan?”

“Tidak perlu! Untuk apa kamu datang ke sini?!”

“Aku hanya ingin membawakan sarapan untukmu dan kulihat di sini harus di bersihkan.”

“Keluarlah! Untuk apa kamu perhatian sama aku?”

“Aku hanya ingin melakukannya.”

“Kayak Sherla dong! Dia mau nglakuin apa yang aku suruh!”

“Oh, begitu ya. Ya sudah aku pergi dulu, kalo mau sarapan bisa panaskan buburnya sendiri kan? Aku pergi 
dulu kalau begitu. Have a nice day.

Saina mengambil tas tangannya dan bergegas keluar dari rumah tersebut. Mukanya yang muram tidak menjamin hari ini dia akan melewati hari yang menyenangkan.

*

Saina yakin dia tidak salah orang. Jelas-jelas itu Henry yang sedang duduk di café sendirian. Dengan langkah terburu-buru Saina masuk kedalam café lalu berjalan ke meja Henry dan duduk di sebelahnya. Henry hanya bisa menunjukkan wajahnya yang heran.

“Kamu kenapa sih belakangan ini?”

“Memangnya kenapa? Kamu kan cuman pacar aku bukan istriku.” Ucap Henry ketus lalu memalingkan 
wajahnya ke koran hari ini. Siana hanya menundukkan kepalanya.

“Apakah kamu pernah menganggapku bagian penting dalam dirimu?” kepalanya menengadah seketika menatap wajah Henry lekat.

“Kamu ngomong apa sih? Aku kan selalu menghargai kamu sebagai seorang pacar.” Ucapnya kini tak kalah ketus.

“Padahal aku tau semuanya tentang dirimu, bahkan hal detail apapun tentangmu tak pernah ku anggap hal yang kecil, selalu kuanggap hal yang penting.” Jelas Saina dengan berlinang air mata.

“Dasar perempuan! Selalu menangis sebagai alat pamungkasnya! Jangan menangis di depanku, Sherla tidak cengeng seperti kamu tau? Jelas dia lebih tegar daripada kamu.” Ucap Henry tanpa rasa kasihan di depan Saina.

“Memang benar… aku tidak sebaik dia. Memang benar aku tidak secantik dia. Memang benar aku tidak sekuat dia. Jelas aku tidak ada apa-apanya dibanding dengan dirinya! Tapi bukankah dia hanya masa lalumu?”

“Sherla memang masa laluku tapi memang dia lebih baik daripada dirimu!” bentak Henry.

“Lihat? Kau bahkan masih senang di masa lalumu. Kamu tidak pernah mau melihat masa depanmu. Kamu 
tidak pernah memandang aku!” Henry bisa melihat emosi yang terpancar dari muka Saina. Saina bisa merasakan hatinya sakit, seperti berdenyut-denyut.

“Apakah itu penting?!”

“Aku bahkan kecewa pada diriku sendiri, aku tidak berhasil melepaskan kamu dari masa lalumu. Kau tau apa artinya? Aku tidak berhasil membuatmu melupakan masa lalumu.” Kini terlihat jelas Saina tak bisa membendung air matanya.

“Bagiku masa lalu itu bukan untuk di lupakan!”

“Kamu masih ingin berhenti di masa lalumu? Baiklah, lebih baik kita sudahi saja semua ini, kalau kau benar-
benar mencintai masa lalumu dan terus merindukannya. Kurasa tak ada gunanya juga kita teruskan semua ini.” Karena tidak tega melihat Saina menangis, Henry menjadi tidak tega.

“Sayang… bukan begitu maksudku. Maafkan aku…” ucap Henry selembut mungkin.

“Percuma ada kata maaf kalau kamu tetap seperti ini, terus-menerus mengulanginya. Pergilah, lagipula aku juga tidak membutuhkanmu di masa depanku nanti.” Ucap Saina dengan ketusnya lalu berdiri dari tempat duduknya lalu melangkah pergi meninggalkan Henry.

Henry bahkan tidak menyangka, Saina yang dia kenal dengan wanita yang lembut, ramah, dan peduli bisa semarah itu. Tidak menyangka wanita tersebut dapat menyakitinya seperti ini. Mungkinkah kini karma sedang berlaku. Henry hanya bisa mengiyakan.

*

Hujan di bulan Oktober. Walaupun Henry sudah membungkus dirinya dengan dua lapis selimut tetap saja hawa dingin sepertinya dengan gagah memeluknya dengan kuat. Dia melihat ke jam dinding. Jam 6:30 a.m. tumben sekali dia sudah bangun jam segini. Dia mencoba meraih handphonenya dan melihat tidak ada pesan satu pun—dari Saina. Tak ada lagi yang menyiapkan bubur ayam di pagi hari. Tidak ada lagi yang menyiram taman kecilnya. Tak ada lagi yang memperhatikan sosoknya. Henry menyadari bahwa dia cowo brengsek. 
Merasakan rindu saat merasakan kehilangan.

Henry hanya bisa menghela napas berat sambil menenggelamkan dirinya dalam selimut berusaha mencari kehangatan yang ada dalamnya, tapi tetap saja dia tidak menemukannya. Entah sudah berapa lama rintik hujan jatuh, sampai dinginnya menusuk sampai tulang. Hanya sosok Saina yang dia harapkan akan menyiapkan teh hangat di sebelah tempat tidurnya.

Sekali lagi Henry menghela napas berat. Dia berusaha memejamkan mata dan berusaha tertidur pulas. Tapi bukannya napasnya yang teratur karena relaks, malah napasnya yang berburu dan tubuhnya yang terguncang, dan air matanya yang mengalir.

-Natasya- 


Senin, 28 Mei 2012

Sweet Coffee


Hari ini dia berkunjung lagi. Tapi tak urung ada kebahagiaan yang menyelimuti. Aku bisa melihat garis wajahnya yang tampak lelah. Dia nyelonong masuk seakan itu adalah hal biasa, dan aku pun menganggap itu hal yang wajar. Aku bisa melihat rambutnya yang acak-acakan, dan mulai membayangkan aku bisa menyentuhnya, memainkan helaian rambutnya yang halus.

Aku mengambil dua cangkir, dan mulai meramu espresso kesukaannya. Dia tergila-gila dan menyarankanku untuk membuka usaha coffee shop. Lalu dia bercerita, dia akan mengerjakan pekerjaannya di sudut ruangan ditemani dengan kopi buatanku, dia berkata dia akan betah berjam-jam di sana. Aku hanya bisa tertawa mendengarnya. Saat air panas memenuhi kedua cangkir dan dengan cepat air berubah menjadi hitam kecoklatan, aku bisa menghirup aromanya dan merasa puas saat mencicipi rasanya.

Saat aku datang dan menyimpan cangkirnya di meja, aku bisa melihat wajahnya berubah menjadi sedikit cerah. Dia menghirup cangkirnya dan tersenyum, lalu mulai menyeruputnya. Ada kepuasan untuk diriku sendiri. Aku duduk di sebelahnya dan mulai menikmat cangkirku sendiri. Aku bisa menikmati wajahnya yang berangsur lemas yang tadinya kaku. Dan itu hal plus yang membuat rasa Espresso yang aku hirup terasa makin nikmat. Saat dia menyimpan kembali cangkirnya di atas meja. Aku tau saatnya aku mendengarkan ceritanya, apa saja.

Tapi dia hanya diam, menatap kosong ke depan. Aku hanya bisa menatap wajahnya sambil menunggu cerita apa yang akan dia ceritakan kali ini. Tapi dia membalas tatapanku dan tersenyum.

Sepertinya aku jatuh cinta, pada kopimu.”

Ucapnya sambil tersenyum. Aku sudah mendengarkan kata-kata itu berpuluh-puluh kali. Tapi tetap saja ada kebahagiaan tersendiri saat mendengarnya lagi.

“Aku tahu, dan aku jatuh cinta pada kata-katamu itu.”

Ujarku dengan senyum yang merekah. Aku bisa merasakan sapuan lembut bibirnya di keningku. Aku mengingat dengan baik sensasi yang aku rasakan. Lalu aku merasakan kepalanya yang tersandar di bahuku.

“Berbagilah, aku akan membantu kamu untuk menopangnya.”

Hanya kata itu yang dapat aku ucapkan. Aku bisa merasakan beban yang dia bawa sendirian berpindah sedikit padaku.

“Terima kasih, dan kopinya juga.”

Aku mencoba untuk membaca matanya, ada guratan kesedihan di sana. Aku menyentuh alisnya, dan mengamati baik-baik mukanya. Aku takkan pernah lupa hidungnya yang mancung, bibirnya yang penuh, dan matanya yang lembut.

Aku bahagia mendengarnya.”

“Tidak, aku bahkan tidak bisa membuat hal yang membahagiakan.”

Aku menggeleng.

Aku bahagia kamu ada di sini. Di sebelahku.”

Dia hanya bisa tersenyum lemah.

Taukah kamu, aku tidak ingin kembali ke surga, karena di sana aku tidak bisa menemukan kopi seenak buatanmu.”

“Aku akan mengantarkannya, untukmu. Ke mana saja.”

“Bahkan kau tidak memiliki kurir untuk mengantarnya ke surga kalau begitu.”

“Kalau begitu aku sendiri yang akan mengantarnya.”

Aku bisa melihat raut wajahnya yang tidak setuju.

“Tidak, kau bahkan belum membangun café untuk kopi-kopimu.”

Tawaku berurai, tapi dia hanya diam saja.
                                                                                                ***
Dia datang lagi untuk kesekian kalinya, dengan segudang cerita yang dia bagi untukku. Aku suka mimik wajahnya yang dengan semangat menceritakan hal seru yang di alaminya. Kami berdua duduk di sofa kesukaan kami, kala itu senja dan warna oranyenya menghiasi ruangan itu. Kami menikmatinya dengan secangkir Cappucino.

Aku jatuh cinta pada kopimu.”

Untuk sekian kalinya dia mengatakan hal itu. Aku bisa merasakan perutku mulas karena senang.

Aku akan bahgia mendengernya terus.”

Balasku sambil tersenyum.

“Tapi,kalau aku kembali ke surga, apa kamu masih akan bahagia?”

Aku terdiam untuk beberapa saat. Lalu aku meraih tangannya dan menggenggamnya erat. Aku mulai gelisah dengan kata-katanya tadi.

Kamu bukan malaikat yang turun untuk mencintai kopi-ku dan enggan kembali untuk itu kan?”

Ada keheningan yang terjadi diantara kami. Aku sibuk memikirkan skenario-skenario yang terburuk. Dan aku sangat berharap aku bukanlah pemeran dalamnya. Sungguh, aku sempat terlintas bagaimana jika rutinitas kami berdua ini benar-benar terhenti? Membayangkannya pun aku takut. Aku mengelus tangannya lalu menjatuhkan kepalaku di dadanya. Aku bisa merasakan detak jantungnya yang lembut dan berirama.

Aku akan merindukan kopimu.”

Akhirnya dia bersuara. Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya lekat.

“Kamu jatuh cinta pada kopi-ku atau aku?”

Dia bergerak gelisah dan membuang muka, menatap lekat jam dinding.

Aku harus pergi sekarang.”

Tidak pernah ada alasan untuk pulang.

Biarkan kali ini aku ikut bersamamu. Jangan pergi, kumohon.”

Aku sama sekali tidak bisa tersenyum seperti senyumnya yang sedang merekah.

Berjanjilah untuk kembali.”
                                                                                                ***
Dia menepati janjinya. Dia kembali dengan segudang ceritanya. Bahkan tak ada kesempatan untukku bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Aku selalu bahagia di buatnya dengan ceritanya. Hanya saja ceritanya tentang surga seakan-akan dia benar-benar berasal dari surga.

Bagiku, dia paket malaikat spesial yang turun dari surga.

Hanya kali ini dia datang dengan berita yang membahagiakan sekaligus membuatku tertegun. Dia memutuskan untuk pergi keluar, untuk belajar menjadi seorang barista. Dia bilang dia akan menjadi barista yang hebat. Dia akan mempelajari seluk-beluk kopi-kopi di dunia. Dia berjanji akan meramu kopi buatannya untukku.

Aku ingin membuatkan kopi  buatanku untukmu, suatu saat nanti.”

Aku bisa melihat kesungguhan dari matanya yang berkilat bersemangat. Aku hanya bisa tertegun, aku bingung aku harus sedih atau terharu kali ini. Aku menggeleng.

Kamu akan meninggalkanku?

Aku melihat kesedihat yang terpancar dari matanya. Matanya memberikan semua jawaban. Dulu, kami pernah meramu kopi bersama. Aku mengajarkan bagaimana membuat kopi kepadanya. Tapi, hasilnya dia tidak bisa membuat kopi seenak buatanku. Semenjak itu dia tidak ingin membuat kopi lagi.

Tidak, aku ingin menunjukkan padamu. Percayalah, aku akan kembali.”

Aku bisa merasakan jemarinya menyapu lembut mataku yang berlinang air mata.

Kumohon, jangan tinggalkan aku. Biarkan aku ikut bersamamu.”

Tidak, selama aku pergi kamu harus membangun café dengan kopi-kopi buatanmu.”

Ucapnya lirih sambil merengkuhku. Aku terbenam dalam tubuhnya, menghirop aroma tubuhnya dalam-dalam.

Berjanjilah untuk pulang.”

Kamu adalah tempat untukku pulang, tunggulah. Kumohon, percayalah padaku.

Aku bisa merasakan rengkuhannya yang semakin kuat. Sungguh, aku hanya ingin seperti ini. Aku tak yakin 
bisa menjalankan hidupku sendiri tanpa bayangnya. Mungkin nanti kenangan akan menghantuiku setiap saat.

Aku rela di perbudak oleh kenangan kita saat kau pergi nanti. Tapi, cita-citamu lebih penting. Kau 
harus berjanji suatu saat nanti aku bisa menghirup aroma kopi buatanmu.”

Tentu saja. Setiap sore kita akan menikmati sore dengan cangkir kopi buatanku. Aku akan mendengar kau memujinya. Aku menanti semua itu.”

Aku mengangguk sambil menahan senyumku. Tapi tak dapat di tahan air mataku luruh, membasahi kemeja yang dia pakai. Aku bisa merasakan kecupannya di kepalaku.

Aku tak sabar menanti itu semua. Maka itu, cepatlah pulang. Disana kamu akan menerima setiap doaku tiap malam.”

Terima kasih. Untuk kopi-mu. Untuk kepercayaanmu. Untuk kehadiranmu.”

Kami menghabiskan sisa sore itu dengan sisa kopi di cangkir kami masing-masing. Kami mengucapkan janji-janji kami berdua. Dia menitip pesan untuk keluar melihat bulan setiap malam. Walaupun jarak akan membentangkan anatara aku dan dia, tapi kami masih bisa melihat satu bulan, bersama-sama.

-Natasya-


Jumat, 27 April 2012

I FOR YOU a novel by Orizuka



Suatu hari dalam hidupku, kau dan aku bertemu. Masih jelas di ingatanku sosokmu yang memukauku. Lidahku jadi kelu, mulutku terkatup rapat karena malu. Setiap malam, bayangmu menari-nari dalam benakku.

Ada sejuta alasan mengapa aku begitu memujamu. Kau menyinari relung gelap hatiku. Kau satu-satunya orang yang ingin kurengkuh. Kau bertanggung jawab atas segala rindu. Kau adalah yang teristimewa bagiku.

Tanda-tandanya sudah jelas: aku menyukaimu. Tetapi, bagaimana caranya aku mendekatimu? Kau begitu jauh, sulit kuraih dengan jari-jemariku.

Dan semakin lama, aku mulai menyadari satu hal. Bahwa kau dan aku mungkin ditakdirkan tak bisa bersatu….

                                                                                                ***
Semua orang miskin di dunia ini tidak berguna. Itu adalah prinsip yang dimiliki oleh Princessa Setiawan—anak seorang direktur berdarah Perancis dengan mata hazel—saat dirinya ditinggalkan oleh ibu kandungnya. Tapi prinsip itu berubah seketika saat dirinya bertemu dengan Surya—cowok miskin yang sekelas dengan Cessa dengan mengandalkan beasiswanya—semuanya berubah saat Surya menghadang bola basket yang hampir melukai Cessa, dia menyadari ada orang lain yang bisa melindunginya selain Benjamin Andrews—pangeran yang di takdirkan untuk Cessa.

Setelah itu segalanya menjadi lebih ceria bagi Cessa, berbagi salam di pagi hari, menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan dan mendapatkan banyak pengetahuan dari Surya. Semua berjalan dengan bahagia, saat Benji dan Cessa mulai menemukan dunia mereka masing-masing. Tapi, setelah menemukan kebahagiaan masing-masing, Cessa dan Benji sadar bahwa mereka harus selalu bersama. Lalu, kesalahpahaman terjadi—mengapa mereka harus terus bersama dengan status Cessa pacar Surya dan Benji pacar Bulan?—seolah pangeran dan putri tersebut mempermainkan Surya dan Bulan.

Lalu semua yang buruk terjadi; Surya gagal mendapat beasiswanya, Benji memutuskan Bulan, dan penyakit Cessa memburuk. Tidak ada yang tahu Cessa mengidap penyakit yang langka—Von Willebrand Disease. Dan kini Surya tahu mengapa Benji dan Cessa tidak bisa di pisahkan—golongan darah yang mengalir dalam tubuh mereka berdua sama: AB rhesus negatif.

Saya sendiri tak habis pikir cerita yang di sampaikan oleh mba Orizuka ini memukau. Bukan cuman ceritanya yang mengharukan tapi banyak pengetahua juga lho. Siapa yang tau penyakit apa itu Von Willebrand Disease?  Selalu suka sama novel-novel mba Orizuka, cerita yang manis dengan ending yang manis pula. Semoga di novel selanjutnya semakin manis lagi ya J

Jika hal yang paling sulit untuk kamu lakukan adalah mengucap ‘selamat  tinggal’, saat itulah kamu tahu kamu sedang jatuh cinta.
-Bulan

-Natasya-


Minggu, 05 Februari 2012

Aku, Kamu dan Cerita Kita

Kala itu hanya tatapan kita yang beradu, tanpa kata yang keluar. Pertemuan pertama kita, masih ingat? Ya, aku begitu menyelami hitamnya bola matamu itu, teduh. Lalu setelah itu tatapanku mengikuti setiap gerak-gerikmu. Senyum ini selalu terkembang saat menyapu gerakan kecilmu; menaikkan kakimu di atas kaki yang lain, saat menulis, postur tubuhmu saat berjalan. Sungguh, tanpa kata-kata yang terucap rasa ini dapat terbit. Lama-lama memenuhi implus-implus di otakku yang kadang berhalusinasi seenaknya tentang sosokmu.  Salahkah aku jika terus-menerus menyimpan rasa ini? Sendirian. Padahal, betapa indahnya jika aku bisa membaginya bersamamu, sambil menatap langit sore yang indah. Tidak, romantis itu tidak harus sunset, kau tahu? Tangan kita saling bertaut saja itu sudah hal yang paling romantis.

Kamu yang selalu menyelami duniamu sendiri, duduk di dalam kelas sampai tak sadar bahwa bel istirahat sudah berbunyi, kamu terlalu sibuk dengan catatanmu sendiri, ingin saat itu aku duduk di sebelahmu menemanimu, tidak perlu kata yang terucap di antara kita, aku akan dengan senang hati melakukannya. Sudah ku bilang kan? Tanpa ada satu pun sesuatu yang terkuak di antara kita, aku bisa memahami presepsi tentang dirimu di hatiku ini. Tidak, aku tidak memaksamu untuk berkenalan denganku di tambah dengan senyummu itu. Aku sudah mengenal dirimu lebih jauh, walaupun kamu tidak pernah mengenalku.

Namun saat itu datang juga, kamu lulus dengan nilai yang memuaskan dan akan melanjutkan ke sekolah yang kamu inginkan selama ini dengan beasiswa yang kamu capai dengan susah payah. Kamu yang akan menikmati indahnya Big Ben saat malam, kamu yang akan melihat sungai Thames saat sore hari. Kala itu aku bisa memperhatikan senyummu saat mengetahui hasil ujian.  Saat itu kita saling menatap, kamu melempar senyum itu. Astaga, sungguh kamu begitu menawan.   Tapi saat itu aku ragu untuk berharap, adakah kesempatan rasa yang selalu tumbuh ini tersampaikan padamu?  Saat selesai pesta perpisahan, di depan gerbang sekolah, kamu tiba-tiba menggenggam tanganku dan menuntunnya ke belokkan sekolah, lalu langkahku terhenti begitu juga denganmu.

Aku akan melanjutkan sekolah di London, mungkin ini akan menjadi perjumpaan kita yang terakhir. Dan aku akan merindukan kamu. Maaf aku baru bisa mengatakannya saat ini, aku mencintaimu tapi aku tak bisa. Aku tidak akan tahan hari-hari tanpamu di sana, sungguh.

Kala itu aku hanya bisa menatapmu dengan bantuan penerangan lampu di belokkan sekolah itu, terlalu kaget dengan semua ini. Tapi aku bisa melihatnya, matamu yang teduh itu. Lalu dengan cepat air mataku luruh juga. Aku berusaha memasang senyumku di balik derai air mataku.

Aku akan selalu merindukanmu, percayalah. Mungkin ini akan menjadi terakhir kalinya kita menatap satu sama lain. Maafkan aku juga karena aku menyimpan rasa ini sendirian, aku tahu aku seorang pengecut. Tapi, sungguh aku akan menunggumu di sini sampai kapanpun, kalau kamu yang meminta.

Aku bisa merasakan tanganmu yang mengisi tanganku, kamu menggenggamnya dengan erat. Lalu, saat beberapa menit kita hanya saling menatap dengan keheningan yang menyelubungi. Setelah itu kamu menggeleng dengan frustasi, tetap dengan jemari kita yang bertaut.

Aku sangat menyesal.

Lalu air matamu terbit di ujung matamu, kamu tidak berusaha menghapusnya.  Aku melepaskan sebelah tanganmu untuk menggapai kepalamu, dengan hati-hati aku menyapukan jemariku di matamu.

Aku tidak pernah menyesal bertemu denganmu, kamu hal yang paling penting. Aku akan menunggumu.

Kamu hanya bisa menatapku, lalu mengambil lagi tanganku yang tadi menghapus air matamu. Kamu mengambil beberapa tarikan napas.

Jangan menunggu aku, kamu harus menemukan seseorang selain aku. Aku tidak berani memberi janji yang belum pasti aku bisa penuhi, aku tidak ingin hatimu sakit.

Air mataku meluncur terus-menerus mendengar kata-katamu. Aku hanya bisa memejamkan mata, menenangkan emosi yang terbentuk karena situasi ini.

Baiklah. Janji padaku kamu akan bahagia di sana, belajar dengan sungguh-sungguh, dan mencapai apa yang kamu inginkan.

Kamu menganggukkan kepala dengan pelan, aku bisa tersenyum saat itu. Tapi aku tidak janji aku dapat melupakanmu begitu saja, kata hatiku.

Ingatlah ini, doaku akan selalu mengiringimu saat aku tidak ada untukmu. Percayalah.

Setelah kalimat itu, kita hanya bisa mengisi kesunyian dengan derai air mata, air mata kamu dan aku. Tangan kita yang saling menggenggam itu terus terpaut. Inilah perpisahan kita, aku dan kamu akan menemukan jalan masing-masing. Kita tidak butuh kata saat nanti kita tidak pernah berjumpa lagi, aku hanya bisa menerbangkan rinduku ke tempatmu, dan kamu akan melantunkan doa untukku setiap malam.



-Ntsy-